PLURALISME DENGAN TOPENG PANCASILA


Pluralisme agama memang adalah alat ampuh yang dipakai Freemasonry dalam menghancurkan Islam. Keganasan pluralisme agama tidak saja bertugas merusak Islam dari akarnya, yaitu tauhid, namun juga menyempal dengan ideologi lain seakan-akan ideologi itu terlihat Islami.
Sebagai ideologi yang menampung semangat kebhinekaan, Pancasila merupakan momentum bagi propaganda pluralisme, multikuturalisme, dan inklusifisme yang memang nyaring disuarakan oleh antek-antek Freemason.
Menariknya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang biasa menjadi titik kulminasi aspirasi umat Islam, juga dipakai oleh mereka untuk mengatur posisi duduk agama-agama di Indonesia secara jernih. Mengapa? Karena oleh mereka, sila pertama tidak eksplisit menyinggung Islam.
Sebaliknya Sila Ketuhanan bagi pengusung Freemason adalah bukti bahwa klaim ketuhanan bukan saja diikat oleh agama Islam an sich. Namun juga agama-agama lain seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan Yahudi. Agama-agama ini, menurut mereka, toh juga memiliki legitimasi bak Islam untuk mengatakan Sila Ketuhanan sebagai bagian dari spirit mereka.
pancasilauLogika seperti ini lah yang pernah dipakai para pengusung Hari Jadi Zionis Israel tempo lalu. Maka itu salah satu seremoni yang dilakukan dalam prosesi HUT Negara laknatullah itu terselip agenda pembacaan Pancasila.
Tidak hanya itu, dengan memakai argumentasi Pancasila, Ruhut Sitompul pun menyatakan bahwa perayaan HUT Israel menjadi sah di Indonesia. "Saya mendukung perayaan itu, karena kita negara Pancasila. Boleh dong komunitas Yahudi merayakan negara dimana ada hubungan darah,"
Ia membandingkan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang setiap tahun merayakan kemerdekaan. Meskipun pada kenyataan menurutnya masyarakat dari berbagai etnis.
"Kita setiap tahun merayakan kemerdekaan padahal kita tidak pernah mengakui satu etnis,"
Akan tetapi, berlawanan akan hal itu, thesis terhadap konsep instrument pluralisme agama dalam Pancasila juga dilakukan oleh Luthfi Asy Syaukanie dalam perspektif berbeda sekalipun memiliki misi sama. Jika sebagian kelompok pragmatis, memakai Sila Ketuhanan untuk melegitimasi pluralisme agama, Luthfi menolak sila pertama justru dengan alasan memasung kebebasan beragama.
Dalam diskusi di Jaringan Islam Liberal, tanggal 25 Mei 2011 yang mengambil tema “Indonesia dan Doktrin Pancasila", doktor lulusan Australia itu, melihat bahwa sila pertama bisa menjadi sangat bias monoteisme.
Dengan ideologi yang bias monoteis tersebut, Luthfi menyangsikan apakah Budha dan Hindu misalnya, bisa diterima “secara ikhlas” di negeri ini. Belum lagi fenomena ateisme dan agnostisisme yang belakangan fenomenanya muncul kepermukaan (terkait niat asosiasi kelompok ateisme Indonesia yang berniat menyusun buku bertajuk: Apakah Ateisme Dapat Hidup di Indonesia?).
Akhirnya, dengan konstitusi yang bias monoteis itu, Luthfi menyangsikan apakah ateisme itu juga punya prospek legal di Indonesia. Dengan tafsir yang berbeda, seperti pemahaman Buya Syafi’i Ma’arif misalnya, sila pertama memang bisa membuka ruang untuk ateisme.
Melihat dua perbedaan antara yang satu dan yang lain sekalipun mengangkat misi nyaris sama, kalau tidak mau dibilang mirip sama sekali, artinya apa? Bahwa ternyata jangankan kalangan Islamis, kalangan liberal sendiri pun melihat Sila Pertama juga sangat multi tafsir.
Pada momen inilah mereka banyak mengguggat sila pertama dan memainkan ruh Pancasila itu sendiri sebagai muara dari kebhinekaan bangsa Indonesia. Karena sejatinya, meminjam bahasa Yudi Latif yang juga menjadi pembicara saat Diksusi JIL tersebut, Pancasila adalah hasil dari perdamaian antara persengkataan kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Islamis.

thanks to

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar